


(Video: https://vt.tiktok.com/ZSh9xanHf/)
Ya, sudah sangat jelas bahwa camar itu menirukan suara kucing. Suaranya tak sempurna, serak, dan agak ganjil bagi telinga yang terbiasa mendengar suara kucing yang lembut atau manja. Tapi upaya itu nyata. Ia mencoba sekuat tenaga meniru suara makhluk lain, suara yang lebih sering mendapatkan simpati, suara yang manusia kenal dan cintai. Sementara itu, kucing di sekitar camar malah terlihat santai, beberapa duduk manis menatap manusia yang lewat, dan satu-dua mendapat sepotong makanan yang dilempar dari tangan-tangan ramah. Sementara sang camar, yang berusaha menjadi bagian dari dunia itu, hanya mendapat tatapan heran, kadang tawa, kadang diusir.
Mengapa seekor burung harus belajar mengeong? Bukankah ia memiliki suaranya sendiri? Bukankah setiap makhluk diciptakan dengan cara berkomunikasi yang khas, yang seharusnya cukup untuk menyampaikan kebutuhan dan perasaannya? Tapi nyatanya realita tak selalu adil. Dunia ini tak selalu mendengar suara yang berbeda. Kita memberi tempat pada suara yang kita suka, kita pahami, atau kita anggap layak untuk didengar. Sisanya? Kita abaikan. Kita tertawakan. Kita diamkan. Camar itu tahu bahwa untuk mendapat sepotong roti, sejumput perhatian, ia harus menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Maka ia memalsukan suaranya, meminjam suara makhluk yang kita beri nama, peluk, dan panggil dengan penuh kasih. Itu bukan sekadar meniru. Itu adalah bentuk adaptasi, perjuangan, bahkan pengorbanan jati diri. Ia memelintir kebenarannya sendiri demi mendapat celah di hati manusia.
Kita hidup di zaman di mana kasih sayang telah menjadi selektif. Kita menentukan siapa yang layak ditolong dan siapa yang tidak. Kucing di jalanan? Lucu. Diberi makan. Dipotret. Diadopsi. Camar yang sama-sama lapar? Dianggap pengganggu. Diteriaki. Diusir. Padahal mereka sama-sama hidup, sama-sama lapar, sama-sama ingin dipedulikan.
Kisah camar ini tak berhenti pada dunia hewan. Ia mencerminkan kehidupan kita juga. Betapa banyak manusia yang merasa harus “mengeong” demi bisa didengar. Mereka mengubah gaya bicara, menyembunyikan identitas, memalsukan emosi, semua demi mendapatkan validasi, rasa aman, atau sekadar sepotong tempat di tengah masyarakat.
Kita menciptakan dunia yang keras bagi mereka yang berbeda. Kita menetapkan standar, lalu menolak siapa pun yang tak sesuai. Bahkan belas kasih kini disaring lewat preferensi dan kenyamanan. Padahal, bukankah kasih sejati seharusnya mendengar bahkan suara-suara yang tak lazim? Bukankah cinta yang benar mampu menembus batas bentuk dan bunyi?
Camar itu, dengan segala keterbatasannya, tak menyerah. Ia mencoba berkomunikasi dalam bahasa yang bukan miliknya, hanya demi hidup. Ia tak ingin dicintai, mungkin. Ia hanya ingin didengar. Dipahami. Dan mungkin, dihargai sedikit saja. Di balik kekonyolan yang aku dan orang lain lihat, ada jeritan yang sunyi. Ada permohonan yang dalam. Camar itu tidak lucu. Ia menyedihkan, dalam makna yang paling manusiawi.
Mungkin, lain kali saat kita melihat seekor burung yang bertingkah aneh, atau manusia yang "berbeda", kita bisa mengingat camar itu. Bertanya pada diri sendiri: apakah mereka sungguh aneh, atau hanya berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak pernah benar-benar mendengarkan?
Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin satu hal—untuk didengar, tanpa harus menjadi sesuatu yang bukan diri kita.