Di Antara Lumpur dan Langit
08 May 2025
Jakarta masih terbaring dalam keheningan fajar saat kami berangkat pukul enam pagi. Sunyi yang datang setelah hujan deras, sunyi yang tidak memekakkan—justru mengendapkan.

Kami berjumlah tak banyak, dan tak pula terlalu teratur: teman lama, rekan satu jalan, dan para pengelana yang lebih sering menatap layar pasar saham daripada langit pagi.
 
Kendaraan melaju perlahan menuju Sentul. Masih setengah terjaga, namun seolah-olah jiwa kami sudah lebih dulu sampai—bersepakat untuk berkeringat hari itu, tanpa pamrih. Titik awal pendakian kami berada di sebuah sudut tenang di kawasan Sentul City, area yang telah tumbuh perlahan menjadi bagian dari peradaban—dikenal pula di peta pasar modal sebagai BKSL IJ.

Tempat itu tidak hanya menyuguhkan lanskap yang rapi dan hijau, tapi juga menjadi ruang pertemuan antara yang dibangun dan yang tetap liar. Antara niat manusia merancang, dan kekuatan alam yang tak pernah sepenuhnya tunduk.
 

Di sinilah perenungan dan kenyataan bertemu—karena setelah menyerap keheningan itu, kami harus kembali ke kaki-kaki yang berlumpur dan napas yang sedikit terengah.

Bekas hujan semalam memang menghadirkan satu kepastian: lumpur. Beberapa dari kami, mungkin termasuk aku, berharap langit kembali menangis—alasan sempurna untuk pulang tanpa malu. Tapi seperti halnya kebanyakan rombongan, kami terlalu sopan untuk jujur, dan terlalu terikat untuk mundur. Maka kami tertawa. Seakan kami betul-betul ingin ini.
 

 
Pukul tujuh, kami tiba. Kabut turun pelan-pelan, menggantung seperti bisikan. Seorang pemandu lokal, dengan senyum yang entah jujur atau penuh lelucon, mengukur kami sekilas dan menyarankan jalur “lanjutan.” Tak ada yang benar-benar yakin, tapi kepala-kepala tetap mengangguk. Karena siapa yang ingin terlihat ragu?

Langkah pertama menenangkan. Rumpun bambu melambai perlahan, daun pakis membasahi kulit, dan keheningan terasa menyapa. Namun perlahan, medan berubah. Tanjakan mengeras. Lumpur berubah menjadi cermin yang licin. Akar-akar pohon menjadi pegangan sekaligus ujian.
 
Setiap langkah harus penuh doa. Pandangan menunduk, pikiran mengecil. Tak ada yang bicara tentang tujuan. Semua hanya ingin menjaga keseimbangan.
Tiba-tiba seseorang berseru: 

“Berhenti bentar….coba lihat ke belakang!”

Dan ketika kami mengangkat wajah dari lumpur yang menyita perhatian, kami melihatnya: desa yang tadi kami lewati, kini tampak kecil dan jauh di bawah sana. Tak seorang pun menyadari sejauh ini kami telah mendaki. Langkah demi langkah, walau tertatih, rupanya membawa kami lebih tinggi daripada yang kami kira.
 

Dan di tengah diam itu, satu pikiran datang seperti teman lama:

Kita sering lupa sejauh apa kita telah berjalan, hanya karena terpeleset sebentar di lumpur.

Dalam dunia investasi—dan dalam hidup juga, mungkin—satu masa sulit bisa membuat kita panik, bimbang, menyalahkan arah. Kita terpaku pada penurunan sesaat, lupa pada jalan panjang yang telah kita lewati. Tapi begitu kita menengadah, mengambil jarak dari langkah kecil yang kita tempuh setiap hari, kita mulai mengingat: bahwa kisah ini bukan tentang satu musim buruk, melainkan perjalanan utuh di mana nilai berlipat bukan sekali, tapi berkali-kali.

Investor Howard Marks pernah berkata: “If you avoid the losers, the winners take care of themselves.

Bila diubah menjadi bahasa gunung: jaga langkahmu agar tak tergelincir, dan biarkan puncak memperkenalkan dirinya nanti.

Perjalanan berlanjut. Kadang curam, kadang melandai. Tapi perlahan, kami mulai bicara. Tentang pendakian masa lalu, tentang hidup yang tak selalu terang. Aku memperhatikan gaya orang berjalan: ada yang menghitung langkah, ada yang mengikuti naluri, ada pula yang berserah pada nasib. Semua sah. Semua punya caranya. Jalannya tetap berlumpur untuk semua.

 

Di tengah-tengah perjalanan itu, diam-diam aku teringat kata-kata Henry David Thoreau, yang dulu hanya terdengar indah tapi kini terasa benar:

“Aku berjalan ke dalam hutan dan keluar lebih tinggi daripada pepohonan.”

Thoreau bukan sekadar nama dari masa lampau. Ia adalah suara pelan dari hutan yang jarang kita dengar hari ini. Seorang penulis, filsuf, dan perenung yang memilih hidup sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia percaya bahwa alam bukan tempat untuk dilihat, melainkan ruang untuk kembali menjadi. Dan hari itu, aku mengerti maksudnya.

Aku melangkah ke jalur-jalur kecil di Sentul City tanpa tujuan pasti. Aku tak sedang mencari apa-apa, hanya sedikit ruang. Dan semakin jauh aku melangkah, semakin sunyi segalanya. Di luar, dan di dalam diriku. Entah bagaimana, meski isi kepala begitu gaduh, berada di sana—di antara lumpur dan kabut—cukup untuk membuat semua suara itu menghilang.

 

Dan seperti pasar, jalur ini juga penuh kejutan. Hari ini tenang, esok mungkin tergelincir. Tarif naik turun seperti emosi kita: pagi 34%, siang jadi 54%, Elon bicara—naik 104%, lalu Trump mencuit—melonjak ke 145%. Pada titik tertentu, kita berhenti mencoba menebak, dan cukup berusaha tidak jatuh.

Tak ada pintasan. Tak ada cara curang. Hanya langkah-langkah sederhana, pelan, penuh kehati-hatian—diselingi uluran tangan yang datang tepat sebelum seseorang jatuh.

Menjelang tengah hari, dengan tubuh letih dan pakaian bernoda tanah, kami turun kembali ke bawah. Lapar terasa seperti teman, dan hidangan barbekyu Korea siang itu terasa terlalu mewah untuk usaha yang sebetulnya biasa saja.

Dalam perjalanan pulang, ketika langit Jakarta kembali menampakkan dirinya, aku mengerti sesuatu. Bahwa kemajuan tidak pernah berisik. Tidak memanggil. Ia tumbuh diam-diam—seperti kabut yang menipis, atau pohon yang mengakar dalam. Dalam hidup, seperti halnya pasar, yang dibutuhkan bukan kilat, melainkan ketekunan. Bukan lompatan, tapi kehadiran.

Lanjutkan saja langkahmu. Meskipun berlumpur. Meskipun perlahan.

Karena pada akhirnya, tanpa sadar, kau akan menemukan dirimu berdiri di tempat yang tak pernah kau bayangkan.

Dan pemandangan yang kau lihat dari sana?

Ia akan berbicara sendiri.

 
Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220