Investor juga manusia, bukan hanya rocker!
21 July 2020
Ketika masih duduk di bangku SMA, hal pertama yang saya pelajari di kelas ekonomi adalah: Manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus). Manusia akan selalu berpikir rasional, serta mencari potensi keuntungan yang paling maksimal. Saat itu, narasi ini terkesan sangat masuk akal. Pikir saya, setiap makan di kantin, toko yang menjual makanan enak dengan harga yang paling murah selalu memiliki antrian yang paling panjang. Masuk akal, kan? Kalau zaman NOW, toko kopi dengan promo cashback yang paling banyak akan memiliki antrian yang paling panjang. Namun, argumen makhluk ekonomi mulai runtuh ketika kita masuk ke pasar modal.

Mana mungkin ada orang yang mau membeli saham “gorengan” dengan jumlah yang banyak? Oops, nyatanya banyak yang beli.

Mana mungkin ada orang yang mau beli saham dengan P/E dan P/BV tinggi? Oops, ternyata masih banyak saham model begitu yang terus naik.

Semua orang juga tahu teori “buy low sell high”, cuma faktanya seringkali investor malah “buy high sell low.”

Semua terasa terbalik dan tidak masuk akal di dunia investasi, padahal kita jangan pernah lupa pelajaran pertama kita pada mata pelajaran sosiologi kelas SMA: Manusia itu adalah makhluk sosial (zoon politicon), dimana peer pressure dan social media seringkali membuat kita mengambil keputusan investasi tertentu. Mungkin sensasi ini akan semakin terasa jika kita mengikuti salah satu komunitas saham online atau YouTube saham yang sedang menjamur. Apapun yang mereka katakan akan banyak sekali dilakukan oleh para anggotanya, terlepas saham yang bagus atau jelek. Mereka hanya tahu bahwa semua anggota grup tersebut lagi ngomongin peluang investasi saham A yang katanya akan naik di sesi dua ini dan jangan sampai ketinggalan.

Sebenarnya hal ini pernah dibahas di salah satu buku karangan Jason Zweig dengan judul Your Money Your Brain, dimana sang penulis memaparkan hasil penelitian scan MRI para investor. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa “ekspektasi” akan sebuah keuntungan efeknya jauh lebih besar daripada keuntungan itu sendiri. Maksudnya, ketika kita benar-benar take profit pada sebuah harga, rasa senangnya masih akan kalah dengan perasaan ketika baru mau masuk sebuah posisi investasi.

Pada tahun 1975, Pepsi pernah mengadakan blind test secara besar di Amerika Serikat, dimana para peserta disodorkan dua minuman cola tanpa merek dan memilih mana yang lebih enak. Hasilnya, lebih banyak orang yang memilih Pepsi daripada Coca-Cola. Terbukti, Pepsi adalah sebuah minuman yang lebih enak daripada Coca-Cola.

Atas dasar ini, Coca-Cola cepat-cepat langsung merubah resepnya dengan nama New Coke. Bahkan, hasil blind test terhadap 200 ribu orang membuktikan bahwa resep New Coke ini jauh lebih enak dari Pepsi.

Namun apa yang terjadi setelah mulai dipasarkan? Ribuan konsumen Coca-Cola mengeluh setiap hari dan meminta Coca-Cola kembali pada rasa awalnya. Loh kok bisa? Bukankah Coca-cola rasa baru jauh lebih enak?

Hal ini terjadi karena konsumen tidak hanya membeli karena logika, namun juga karena faktor emosional. Coca-cola tidak sebatas pada rasa di lidah, namun juga dengan ribuan memori emosional yang terbangun pada banyak orang selama bertahun-tahun. Mungkin inilah yang membuat penutupan Mcdonald Sarinah menjadi begitu viral. Kenangan ribuan orang di sana sulit untuk dilupakan, dari nembak mantan sampai markas utama ketika kabur dari kelas bersama teman sekolah.

Pada tahun 2004, Coca Cola melakukan penelitian blind test ulang, yang mana Pepsi tetap dipilih pada fase blind test, karena memiliki rasa yang lebih enak. Namun, ketika logo Coca-cola ditampilkan, 75% sampel tetap memilih Coca-Cola.

Mungkin saja, produk tabungan dan deposito akan membuat hidup kalian lebih tenang dan merasa aman, namun sensasi adrenalin dan volatilitas pada saham tetap tidak akan bisa dilupakan bagi sebagian besar orang, bahkan hasil MRI trader setelah mengalami untung menunjukkan situasi neurologi yang sama persis dengan orang yang sedang dibawah efek kokain atau morphin. Dari pengalaman saya memberikan literasi keuangan pada generasi milenial sejak 2015, saya menemukan sebuah resep instan untuk membuat orang tertarik secara otomatis pada saham: Ajak orang tersebut merasakan untung trading dalam jangka pendek, setelah itu langsung orang tersebut ketagihan sendiri.

Kurang lebih itu yang terjadi dalam tiga bulan masa PSBB ini, tiba-tiba banyak sekali yang menghubungi saya untuk mau belajar saham. Alasan mereka sederhana: mereka penasaran liat profit saham yang dipamerkan oleh teman mereka di sosial media. Akhirnya, mereka coba-coba beli saham unggulan Indonesia dan merasakan untung cepat. Alhasil, banyak sekali yang ingin belajar saham secara serius tanpa disuruh. Memang pasar modal itu adalah ahli hipnotis.

Namun pesan saya, walaupun pasar sangat menghipnotis dan seru sekali, kita harus sadar bahwa inilah letak kelemahan terbesar kita: temperamen. Seperti yang pernah dikatakan oleh Warren Buffet, “The most important quality for an investor is temperament, not intellect.”

Bagi saya investasi saham adalah arena permainan emosional daripada arena permainan intelektual. Buktinya, banyak sekali teman atau dosen saya yang sangat cerdas dalam dunia akademis keuangan namun masih takut untuk terjun secara maksimal pada investasi saham. Bukan siapa yang paling pintar yang akan sukses di saham, namun siapa yang paling memiliki kecerdasan emosional yang kuat.

Menurut pengamatan saya, masalah utama dalam pembelian saham sebenarnya terfokus dari dua sumber utama:

1. Rasa takut rugi berlebihan (fear): Sehingga kita tidak berani membeli sama sekali karena merasa sudah tinggi, padahal setiap tahun selalu naik (makin tinggi). Contoh: pergerakan saham BBCA.

2. Rasa takut ketinggalan cuan (Greed/FOMO): Sehingga kita langsung nafsu membeli sebuah saham secara agresif (all in! Margin!) walaupun sebenarnya posisi harga kurang optimal

Jadi apa solusi untuk kedua emosi utama investor di atas? Mungkin kita bisa mempelajari strategi membeli di bawah ini.

Jurus Kungfu #1: Dollar Cost Averaging - #yuknabungsaham

Cara ini sebenarnya mirip dengan strategi yang diajarkan pada kampanye #yuknabungsaham, yang mana mirip dengan strategi kesukaan Benjamin Graham: Dollar Cost Averaging.

Intinya, kita membeli saham dengan jumlah RUPIAH yang sama pada setiap periode tertentu (mingguan/bulanan). Dengan cara ini, tentunya kita akan mendapatkan lembar saham yang lebih banyak ketika harga saham jatuh, dan mendapatkan lebih sedikit lembar saham ketika harga naik. Dasar dari strategi ini adalah: Kita tidak bisa menebak berapa level terendah sebuah saham, sehingga kita berusaha mendapatkan rata-rata harga dengan melakukan Dollar Cost Averaging. Cara ini efektif untuk membuang emosi dalam pembelian saham, sehingga cocok buat investor yang memang periode investasinya di atas 5 tahun.

Jurus Kungfu #2: Averaging Up

Cara ini sebenarnya banyak dihindari oleh investor pemula, karena mungkin pada dasarnya manusia takut ketinggian, bahasa canggihnya, acrophobia. Secara logika, kita akan merasa ketinggalan dan terganggu kalau beli saham di atas harga pembelian pertama kita, padahal bisa jadi saham yang kalian pegang adalah saham yang memang selalu naik setiap tahun. Tahukah kalian, memang ada sebagian saham superstar yang harga saham dan fundamentalnya meningkat terus setiap tahun, yang mana jumlahnya mungkin hanya sekitar 2% dari semua saham (700-an emiten) yang beredar di Indonesia.

Contoh Averaging Up: Konsisten beli ketika harga sudah terapresiasi 10%, karena bisa jadi saham kita adalah superstar yang kuat naik dalam 10 tahun ke depan.

Jurus kungfu #3: Buy on Selloff (BOS)

Cara ini cocok dilakukan pada saham yang secara konsisten kenaikannya diatas IHSG selama bertahun-tahun, serta memiliki pertumbuhan laba bersih yang konsisten setiap tahun. Kita mulai melakukan pembelian ketika terjadi penurunan yang cepat dan masif (sell-off), yang mana disebabkan oleh sebuah sentimen yang bersifat temporer (Aksi korporasi, sentimen berita sesaat – contoh: pabrik kebakaran, direksi baru, regulasi baru, dl)

Coba deh kepoin grafik saham-saham unggulan (blue chips) Indonesia, lalu cek berapa penurunan tertinggi dari level high ke low pada saham tersebut. Misal: Ternyata dalam 10 tahun terakhir, saham ABCD setelah turun di kisaran 25-30% dari level tertinggi, selanjutnya akan mulai naik. Kita bisa mulai beli ketika ada selloff sampai di kisaran tersebut.

Jurus kungfu #4: Tambah posisi ketika valuasi lebih murah

Ketika kita mendengar kata valuasi lebih murah, kita berpikir berarti harganya akan lebih murah. Padahal, harga dan valuasi adalah sesuatu yang berbeda. Contoh: Ketika kita membeli ABCD di harga 3000, laba bersih per sahamnya adalah Rp300 (P/E 10x). Dua tahun kemudian, harganya naik menjadi Rp5000, namun laba bersih per saham ABCD pada saat itu adalah Rp1000, atau berubah menjadi P/E 5x.

Jadi jika kalian menemukan saham yang pertumbuhan laba bersihnya jauh lebih kencang daripada pertumbuhan harganya, jangan lupa tambah posisi ketika VALUASI (harga) lebih murah

Jurus Kungfu #5: Investasikan Lagi Dividen mu

Sebenarnya ini bentuk modifikasi dari Dollar Cost Averaging, namun sumber uang yang digunakan adalah dari dividen saham pegangan kita. Contoh: Setiap tahun kita mendapatkan 7% dari saham BJTM, dividen yang kita terima langsung kita belikan saham BJTM lagi, atau kalau mau lebih berpetualang, kita belikan saham small medium caps.

Banyak sekali dari kita yang belum berani beli saham lapis 2 yang berfundamental baik, padahal banyak sekali saham small-medium caps yang punya potensi kenaikan yang luar biasa. Nah, dengan jurus kungfu #5, risiko akan relatif lebih terukur, karena yang digunakan adalah uang dividen dan bukan modal kita.

Happy cuan 2020! Jangan sampai ketagihan saham ya.

Written by Jason Gozali
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220