258
02 December 2019
Dalam rangka menulis report, belum lama ini saya minta bantuan mbah Google untuk mencari tahu arti dari suatu kata. Jadi saya mulai dengan “the meaning of…..”

Ternyata suggestion, atau saran nomor satunya adalah … the meaning of life. 

Ini mungkin search paling populer di Google, untuk kategori the meaning of. 

Artinya, banyak dari kita yang sedang dan masih mencari arti hidup kita. 

Sedikit berfilsafat, saya ingin mengutip pandangan Epictetus (55-135 AD) dari aliran filsafat Stoicism dalam hal memilih prioritas utama dalam hidup. Dalam pandangannya, tugas utama dalam hidup adalah mengidentifikasi dan memilah-milah 

•    Hal-hal yang jelas-jelas bersifat eksternal dan di luar kontrol kita.

•    Hal-hal yang berhubungan dengan pilihan-pilihan yang dapat kita kontrol.

Implikasinya adalah dalam mengambil keputusan, kita harus berfokus bukan pada perkara-perkara eksternal yang tohtidak dapat kita kontrol, melainkan ke dalam diri dan pilihan-pilihan kita sendiri.

Misalnya kita naik GoCar dan jalanan sedang macet berat, karena sedang ada hujan badai lebat. Ada dua pilihan. Pilihan pertama adalah kita memberikan tekanan pada driver GoCar, mencak-mencak, marah-marah, ngancam-ngancam kasih bintang satu kalau tidak bisa mencari jalan alternatif. Pilihan kedua adalah menenangkan dan memberi tahu driver GoCar kalau kita percaya dia akan mencari jalan keluar terbaik dan membantu lihat peta digital kalau dirasa perlu. 

Marah-marah ke driver GoCar tidak akan membuat situasi lebih baik. Malahan energi negatif menular ke mana-mana. Driver nggak happy, kita juga nggak happy. Mending berfokus pada solusi dan hal-hal yang dapat kita kontrol. 

Berbicara soal jalanan macet dan cuaca buruk, industri riset pasar modal (sekuritas) juga sedang mengalami tantangan yang sangat berat. Baru-baru ini, sebuah artikel di Financial Times dengan judul “Investment analyst shake-up champions data mining” menggambarkan dengan kalimat: 

“That investment research business is going through a profound reshaping. New investing strategies, regulations, commercial pressures and technology are forcing a rethink of what analysts do, how they do it, and the ways their work is distributed to clients.”

Pekerjaan makin banyak, klien makin demanding. Tuntutan komersial dan compliance juga makin berat. Strategi survivalbaru sedang dibutuhkan. Level stres naik. Pantas-pantas sajakah kalau kita marah-marah? Bentar, bentar...

Baru-baru ini saya menghadiri 1st Annual Investment Conference yang diselenggarakan oleh CFA (Chartered Financial Analyst) Society Indonesia. Tema konferensi adalah Future of Finance, AI & Data. Benar-benar pas dengan tantangan zaman yang dihadapi oleh komunitas analis. 

...
...
Dengan jujur, Nick Pollard, Managing Director CFA Institute Asia Pacific mengakui bahwa tantangan bagi industri analis pasar modal begitu riil, sehingga ia menghimbau partisipan di industri untuk terus belajar dan berdaptasi. Termasuk belajar skill yang sesuai dengan tuntutan era baru dan menerapkannya. Karena peran tiap individu akan mengalami transformasi selama beberapa kali dalam kariernya. 

Sudah diakui bahwa CFA adalah standar emas industri riset pasar modal global. Untuk memperolah kualifikasi CFA, ada 3 level ujian maha berat yang harus dilalui. Tiga tahun penuh cobaan, begitu kata yang pernah mencoba mendapatkan kualifikasi CFA. Jumlah jam yang harus didedikasikan untuk ujian CFA level 1 saja adalah sekitar 300 jam. Padahal ada 3 ujian dalam 3 tahun (kalau semua level langsung lulus straight). Makin tinggi levelnya makin sulit, tentunya. Padahal peserta ujian CFA rata-rata sudah bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang; suatu hal yang sudah menjadi standar industri pasar modal. Menantang sekali, tapi apa nyucuk? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengumpulkan cerita suka duka beberapa teman di  CFA Society Indonesia. Cerita seputar ujian CFA mereka. Berikut beberapa cerita yang bisa saya bagikan di sini:

“Dulu saya bangun jam 4 pagi hampir tiap hari untuk belajar level 2 dan level 3..  bersyukur penderitaan sudah berlalu… but it was fun. Frankly speaking, one of the best investments (uang, waktu dan keringat) buat saya secara personal adalah CFA… no doubt.”

Syaiful Adrian CFA, Direktur PT Kredit Rating Indonesia

“Pokoknya ceritanya semua penderitaan sampai akhir pas dapat baru sukanya muncul.”

Anil Kumar CFA, Head of Fixed Income, Ashmore Asset Management Indonesia

“Melarikan diri waktu huru-hara, cuma sempat bawa buku CFA level 2 dan paspor, nggak sempat bawa baju. Setelah 2 minggu di Singapore pulang Indonesia hanya untuk exam. Level 3 dalam keadaan hamil ke Amerika, gotong buku CFA. Anak lahir November 2000, ujian CFA Juni 2001. Lumayan cicil belajar waktu hamil soalnya anak lahir sudah limited waktu belajarnya”

Kartika Sutandi CFA, Director, Head of Sales, CGS CIMB Sekuritas

“Suka dukanya adalah selama masa belajar CFA, saya selalu ansos (anti-sosial) ketika jam makan siang di kantor. Sudah pasti makan siang sendiri sambil belajar. Weekend sudah pasti tidak ke mana-mana. Bahkan karena saya belajar CFA pakai materi online, sambil ke kantor naik gojek pun saya tetap belajar mendengarkan materi online. Kadang-kadang saya download terlebih dahulu semua materinya. Bahkan punggung abang gojek sering saya jadikan alas buat mengerjakan latihan soal. Tapi hasilnya terbayar. Saya lulus straight.”

Fadil Marthias CFA, AVP Corporate Credit Reviewer, Bank Permata 

“Tahun 2016, saya membukatkan tekad untuk ikut ujian CFA. Pertengahan 2016, saya beranikan diri bayar kelas edukasi. Secara efektif, saya hanya punya 17 minggu untuk belajar. Padahal bahan belajarnya kalau dicetak dengan kertas, bobotnya bisa 10 kg. Ada perasaan menyesal kenapa mendaftar. Motivasi belajar level 1 hanya semata-mata untuk tidak rugi karena sudah terlanjur daftar. 

Saya selalu pulang pagi selama 12 bulan level 2 dan 3, pulang jam 1 pagi, seolah-olah belajar dari jam 8 malam sampai jam 1 pagi, entah kerasukan apa, ngumpet di kantor biar tidak diganggu. Kalau di rumah tidur. Habis itu bangun jam setengah 8 pagi, jam 9 pagi harus sampai kantor lagi.

Tidak ada kata liburan, tidak ada tidur lebih awal, tidak ada rasanya akhir pekan. Seluruh petugas keamanan gedung mengenali wajah saya, karena selalu datang meskipun hari libur.”

Agus Benzaenuri CFA, Keppel Land. 

“Satu efek samping yang positif adalah anak tidak melihat kerja keras sebagai masalah. Keluarga juga ikut lelah.”

Adrian Teja CFA, Faculty member Universitas Prasetiya Mulya

“Tidak cukup tidur, antisosial, cuti habis untuk belajar. Perjuangan saya setiap mendekati ujian CFA. But it was all worth it.

Lucunya, setelah lulus ujian saya merasa ada sesuatu yang hilang dari hidup saya dan saya merasa sedikit kecewa karena tidak ada lagi materi yang bisa dipelajari dari kurikulum CFA. Seperti halnya saat kita selesai membaca buku atau menonton film yang bagus.

Saya juga mendapat teman2 baru dari perjalanan saya untuk mendapat sertifikasi CFA.”

Filbert Anson CFA, Analyst at KISI Asset Management

...
Nama-nama di atas mendapatkan kualifikasi CFA-nya antara tahun 2001 hingga 2019. Dari dulu sampai sekarang, ujian CFA ya sama beratnya, membutuhkan komitmen dan pengorbanan yang sama-sama luar biasanya. Tapi kepuasan mendapatkan sesuatu yang harus diraih dengan perjuangan luar biasa ini juga masih sama dalam rentang waktu dua dekade terakhir. Bahkan, setelah ujian selesai ada perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidup. 

Buat saya sendiri, saya pastikan selama periode 3 tahun belajar CFA untuk datang ke kantor 1 jam lebih awal dan pulang 1 jam lebih malam. Untuk belajar CFA, selama 6 bulan. Karena sudah bela-belain datang lebih awal dan pulang lebih malam, saya bertekad untuk tidak menyia-nyiakan “pengorbanan” tersebut. Proses belajar jadi hyper focus.

Juga, kertas hasil corat-coret CFA bertebaran di dinding kamar, kamar mandi, dan hampir seluruh dinding rumah.

Jujur, dalam kasus saya, sewaktu selesai ujian CFA level 3, saya sama sekali nggak ada rasa kangen dengan proses belajar 3 tahun itu. Rasa aneh ada yang berubah dalam hidup memang ada. Tapi yang jelas tidak ada rasa kangen. Blas. 

Jumlah anggota aktif CFA di Indonesia tidak banyak. Hanya 258 orang. Lebih sedikit daripada anggota di negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Filipina 280-an, Malaysia 800-an, Singapura 3.000-an. Apalagi kalau dibandingkan dengan Cina yang jumlah peserta tes CFA-nya saja sudah 2 kali lipat peserta dari Amerika Serikat, negara asal kualifikasi CFA. 

Padahal banyak sekali keuntungan menjadi seorang pemegang kualifikasi CFA charter. Selain pengakuan bahwa kita telah melewati tes terberat di dunia keuangan, kesempatan networking di CFA Society juga luar biasa. 

Acara networking di Indonesia juga aktif. Ada 10-12x acara tiap tahun, tempat para anggota berinteraksi dan bertatap muka. Tema juga beragam dan up-to-date. Berkat kerja keras pengurus-pengurus CFA Society seperti Pahala Mansury yang baru terpilih menjadi Dirut BTN, Edhi Santoso Widjojo, Triono Soedirdjo, Lany Wong, Ricardo Silaen, Mark Bruny, dan Annastasha Suraji. 

Kesempatan untuk kemajuan karier bagi anggota yang lebih muda dan kesempatan recruitment untuk anggota yang lebih senior. Sama-sama untung. 

Memakai filosofi Epictetus, kalau kita dapat berfokus pada hal-hal yang dapat kita kontrol, kita tidak hanya menjadi lebih bahagia, tapi juga mempunyai keuntungan luar biasa atas mereka yang terlalu berfokus pada hal-hal eksternal di luar fokus kita, misalnya pada industri yang sedang menghadapai tantangan yang luar biasa. 

Belajar dari pengalaman di market, mereka yang bisa survive dan berkembang kariernya di pasar modal adalah mereka yang masuk kategori perpetual beta, yaitu komitmen ke peningkatan skill dan belajar yang terus-menerus, alias growth mindset. Seperti kata Thomas Edison, sukses adalah 75% kerja keras dan 25% inspirasi. Growth mindset adalah prediktor sukses yang tiga kali lipat lebih powerful daripada kecerdasan. 

Mau bergabung ke tim 258 orang CFA charter holder di Indonesia dalam growth mindset mereka? 

Champions always do more

Ronda Rousey, former female UFC Women's Bantamweight Champion, pioneer female fighter in UFC

Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220