Profit vs Dream
24 February 2021
“Semua orang bermimpi ingin menjadi perusahaan teknologi,” kata Kevin O’Leary, juru bicara Shark Tank yang sangat terkenal sebagai investor ‘value’ dan trader andal, di sesi Squak Box CNBC tepat empat tahun yang lalu.

“Salah satu keindahan dari perusahaan teknologi adalah mereka mempunyai infinite PE. Dalam artian, bisa 50x, 100x atau 1000x! Menurut saya, perusahaan seperti TSLA itu mempunyai struktur kapital yang sangat sempurna di era suku bunga rendah seperti hari ini...” lanjut Kevin menjelaskan ke penonton yang pada saat itu sangat bingung – perusahaan seperti apa yang bisa trading di ‘break even’ 1000 tahun?

Memang cukup umum, mungkin sekitar tahun 2015-2016, investasi ala teknologi belum marak. Investor pada zamannya masih pakai ‘value’ ala (simplified) Warren Buffet yang melihat bahwa PE paling tidak harus dibawah 15x. Kalau tidak, berarti mahal. Cukup simpel rule of thumb-nya. 

Apakah PE 1000x berarti perusahaan belum menghasilkan profit? – kata orang pada umumnya; ya bisa jadi, investor mematok harga saham dengan penghasilan yang akan datang 5, 10 bahkan 20 tahun kemudian. 

“Tetapi apakah profit itu yang dicari oleh TSLA?” lanjut Kevin bertanya retorik...

“Justru jangan cari profit! Sudah bagus TSLA sekarang bisa merugi, dan menurut saya ada baiknya terus merugi!” jelasnya – atau dengan terjemahan Bahasa Inggrisnya yang ia ujarkan di interview tersebut “NEVER MAKE MONEY!” 

Loh mengapa? Para pembawa acara Squak Box pun bertanya-tanya. Jujur, saya yang saat itu menonton acara tersebut di Televisi juga sempat bingung. Mengapa kok perusahaan sudah listing di bursa, justru jangan cepat-cepat turn profitdi bukunya.

“Ya saya katakan sekali lagi, never make money, karena tidak semua perusahaan harus menghasilkan uang, sekarang. TSLA itu adalah perusahaan impian. Saham mereka naik karena ada mimpi yang ingin dicapai.

... mobil listrik

... AI

... ataupun self-driving software yang paling canggih di dunia

Dan mereka terlihat bisa melakukan itu semua dari produk-produk yang mereka luncurkan. Dan market percaya hal itu, dan membeli sahamnya. So your number one job as CEO of TSLA is to keep the DREAM ALIVE. Jika TSLA beranjak untuk menghasilkan profit di bukunya, katakan $100 million, otomatis saham TSLA pasti turun! Ia akan dinilai dengan PE sama seperti perusahaan otomotif lainnya. Ford misalnya. Ford trading di angka 5-7x PE. Apakah kalian mau TSLA di trading di angka tersebut, jika sekarang bisa di 2000x?”

Percakapan yang sangat sederhana, tetapi patut dipikirkan. Empat tahun kemudian, interview Kevin saat itu sangatlah memorable untuk saya yang sekarang sangat tertarik berinvestasi di teknologi. 

Memang betul, satu dekade penuh stimulus dari bank sentral dapat membuat fenomena-fenomena ‘gila’ seperti sekarang. Saham trading di 1000x PE misalnya. Atau munculnya mata uang baru yang dalam bentuk digital yang tidak ada asal-usul negara. Dan secara spontan, tentu saja orang yang tidak biasa melihat hal ini, seperti saya, akan langsung menyebutnya ‘gila’.

Tetapi mungkinkah justru prinsip open minded sangat dibutuhkan di era yang sudah sangat berubah? Mungkin kita yang butuh cara untuk valuasi yang baru. Bukan pakai PE, atau EV/EBITDA lagi. Tetapi menggunakan Price to Sales, atau Gross Merchandise Value, misalnya, yang bisa menambah profil risiko pada keputusan investasi kita, dan bisa lebih cocok menilai tech company yang masih growing/ bleeding

Kutipan dari Kevin: “semua orang bermimpi ingin menjadi perusahaan teknologi”. Statement ini benar sekali. 

Kalau kita lihat dari berita yang beredar akhir-akhir ini, banyak perusahaan yang beranjak ingin berbisnis digital. Seperti perbankan misalnya, mengarah ke fintech. Dan logistik, ingin menggarap pelanggan online menggunakan AI. Dan pastinya, perusahaan yang berhasil mengeksekusi dengan benar, akan mendapatkan market yang luar biasa besar.

Sang penulis buku Zero to One, Peter Thiel pernah menjelaskan dalam bukunya bahwa inovasi bisa kita semua lakukan dengan dua prinsip: horizontal atau vertikal.

Yang dimaksud dari horizontal adalah, mengaplikasikan metode yang sudah ada di negara atau sektor lain, untuk diri kita sendiri, atau dalam bahasa lainnya copying what has already exist. Seperti contohnya, China sebagai negara yang besar sudah mengopi semua metode bisnis/ kehidupan yang sukses di negara Amerika untuk widespread adoption di negara sendiri. Bahasa ilmiahnya mungkin lebih dikenal sebagai globalisasi.

Saya sadar bahwa metode yang sedikit “mencontek” bukan hal yang salah. Tetapi justru jenius! Buat apa menghabiskan waktu menciptakan hal baru, jika waktunya bisa dialokasi ke adopsi yang lebih effisien. Teringat bahwa Sucor pernah menganalisa perusahaan bernama Adi Sarana Armada (ASSA) yang mengadopsi prinsip logistic SF Express dari China, misalnya, untuk membuat perusahaan logistik terkemuka bernama Anteraja. ASSA merupakan salah satu emiten yang sukses meluncurkan tech business berprinsip horizontal.

Prinsip kedua, vertikal, mungkin terkesan lebih sulit. Kita dapat mencoba untuk mencari cara baru untuk melakukan sesuatu dimana belum pernah dilakukan. Menjalankan pure digital banking misalnya. 

Perusahaan seperti Bank Jago, yang akhir-akhir ini diisukan akan meluncurkan digital banking dengan backup Gojek berencana menyalurkan kredit dengan unsur teknologi, yang rumornya mirip seperti cara ANT Financial di China. Tentunya, jika hal itu berhasil dibentuk, Bank Jago bisa membuat digital lending market raksasa yang baru dengan bantuan AI, yang sedikit sekali perusahaan lain lakukan di dunia, hanya dengan bantuan perangkat komputer.

Inovasi teknologi itu sungguh indah, dan sudah saatnya semua investor pasar modal memeluk sisi perubahan dari market yang semakin dewasa ini. Bukan menolaknya.

Bisakah kita mempunyai sisi keterbukaan pikiran untuk menerima hal baru?

Jika jawabannya YA, mungkin dinamika market yang sekarang akan cocok sekali untuk Anda.

Written by Irwin Saputra
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220