

Kesehatan fisik masyarakat seharusnya menjadi argumen tambahan untuk bersepeda ke mana-mana. Saya tidak ingin mengoceh panjang soal perubahan iklim atau makin panasnya bumi (di tempat saya tinggal, Kota Bekasi, ini terasa banget haha). Saya percaya, perubahan kecil individu bisa menular menjadi perubahan sistemik—meski dunia sering membuktikan sebaliknya. Mungkin naif, tetapi rasanya tidak ada salahnya bercita-cita besar: bidik bintang, jatuh pun masih di awan. Kalau wilayah perkotaan di Indonesia belum ramah pejalan dan pesepeda saat saya meninggal, setidaknya saya sudah berusaha berkontribusi.
Dulu, masa kuliah, saya sempat jadi “environmentalis ekstrem”—bukan cuma hemat, tapi zero-waste; dan itu menguras waktu dan energi. Sekarang, saya menggunakan pendekatan yang lebih moderat: berusaha menekan dampak serendah mungkin. Dulu saya bahkan hampir berhenti pergi ke gym karena merasa konsumsi protein hewani merusak lingkungan. Apakah benar merusak? Mungkin. Tidak etis? Kemungkinan besar. Tetapi saya memilih menyelesaikan satu perjuangan pada satu waktu. Kadang terlintas menjadi vegan tetapi bisa tetap sekuat Hulk seperti Clarence Kennedy.
Menjalani gaya hidup minim sampah, saya sadar tidak realistis untuk benar-benar nol plastik. Sampah non-degradable bisa dilokalisasi di TPA, sedangkan polusi udara tidak bisa—kita menghirup udara yang sama, kawan. Ya, ada isu mikroplastik, pemakaian sumber daya (terutama minyak), dan lain-lain. Saat kebakaran hutan di Sumatra, Singapura juga kena asap. Memang tidak selalu global, tetapi jelas bukan masalah lokal semata. Bicara sumber daya, perang air sudah terjadi; mungkin tinggal menunggu waktu Asia saling sikut karena air—kita tidak butuh “perang minyak”. Serial game Fallout menggambarkan dunia yang porak poranda karena nuklir, sebagai akibat perang sumber daya. Kapasitas kehancuran itu nyata; mudah dilupakan semakin lama jarak dari Perang Dunia yang terakhir terjadi di tahun 1945, tetapi manusia tetap punya kemampuan untuk menghancurkan masing-masing.
Sisi positifnya, sepeda makin populer di tengah ketidakpastian harga energi. Di Indonesia, bensin makin mahal. Di kompleks tempat saya tinggal, sepeda semakin banyak; saya sampai sering tersenyum sendiri saat gowes. Jangan salah, saya tidak senang dengan kenaikan harga bensin menjadikan harga makanan dan kebutuhan pokok ikut naik. Tetapi setidaknya saya bisa melihat alternatif.
Kepemilikan mobil bisa menguras kantong—bensin, servis, depresiasi, pajak tahunan—semuanya jika dijumlahkan rasanya tidak masuk akal untuk kondisi saya saat ini. Jangan pancing jiwa frugal saya; hitung kasar saja sudah jelas merugikan. Bukan berarti saya anti-konsumsi (meskipun saya bangga menjadi anggota forum Reddit r/anticonsumption). Saya selalu merasa bahwa kita sering “melegitimasi” kebutuhan palsu—hal yang sebenarnya hanya keinginan, tapi kita buat dengan segala cara seolah-olah menjadi kebutuhan. Padahal kita bisa hidup—bahkan lebih baik—dengan jauh lebih sedikit.
Begitulah pandangan saya tentang mobil, bahkan motor. Kebanyakan hanya dipakai pulang-pergi tiap hari, duduk (dan butuh lahan parkir luas), lalu terjebak THE traffic. Kenapa saya tulis dengan kapital? Karena itu penderitaan ultimate: panas, polusi, bising, tanpa nilai produktif. Mobil dan motor terjebak macet—membakar bensin, uang, dan bumi. Demi apa? Bergerak inci demi inci mendekat ke rumah. Inefisiensi . Bagi saya, tidak ada yang lebih menyiksa diri selain macet. Kondisi dimana kita sadar bahwa 30 menit hingga satu jam ke depan masih di situ bersama ratusan orang lainnya, hanya berusaha menuju suatu tempat yang sebetulnya jaraknya tidak seberapa.
Tentu kecintaan saya terhadap bersepeda sebagai moda transportasi Saya paham transportasi publik kita masih bisa dibenahi lagi; banyak kota besar di dunia pun sama. Jam sibuk bisa sangat sesak— sampai sulit menemukan alasan untuk menggunakannya apabila tidak karena terpaksa. Tetapi setidaknya saya tidak perlu menyetir. Tidak harus fokus fisik dan mental seperti menyetir. Saya bisa dengar musik, podcast, baca buku. Kalau bosan, ya merenung; sering kali, justru ide-ide paling kreatif yang terpikirkan muncul ketika merenung di KRL. Masalahnya, akses ke stasiun masih jauh dari ideal. Luas jaringan transportasi umum—khususnya KRL—memang bertambah, tetapi kepadatan tetap tinggi. Rencana saya, untuk berangkat-pulang stasiun secara rutin dengan sepeda lipat. Namun kalau kereta penuh, rasanya tidak tega membawa barang sebesar itu—menambah volume di gerbong sesak tanpa tiket tambahan jelas egois. Transportasi publik yang bagus tetapi aksesnya tetap car-centric, bisa membuat biaya total malah lebih mahal daripada kendaraan pribadi—membuat saya, si hemat, galau. Di sinilah sepeda tetap tak tergantikan: menghubungkan rumah-stasiun dengan efisien.
Tidak boleh dilupakan juga, kalau hal terbaik dari bersepeda mungkin waktu me-time yang berkualitas. Saya bisa menjelajah lingkungan baru tanpa menambah polusi dan kebisingan. Setidaknya, rute harian bisa dibuat variatif. Seringnya, eksplorasi ini memicu kreativitas: —cukup melihat hal sepele di jalan saat gowes, lalu pikiran mengalir, bercampur pengetahuan lama, dan… voilà ! Muncul ide besar baru yang bisa dieksplorasi.
Dan kalau dipikir-pikir, ritme bersepeda ini mirip sekali dengan cara saya memperlakukan investasi saham: pelan, konsisten, dan tahan banting. Kita tidak harus jadi cepat atau kaya—cukup tahu arah, sabar, dan terus mengayuh. Sama seperti saham: yang penting bukan seberapa sering kita beli atau jual, tapi seberapa lama kita bertahan. Pelan-pelan, asal rutin, akhirnya sampai juga.