Small Places, Big Dreams
29 April 2025

Crescit sub pondere virtus.

Hari ini saya menemukan diri saya di Bayat — sebuah desa kecil sekitar satu setengah jam perjalanan dari Yogyakarta, dikelilingi hamparan sawah hijau yang mulai menguning, mengalir tenang di bawah hangatnya sinar matahari pagi.

Kami tiba tepat saat hari mulai berdenyut, disambut oleh kehangatan pagi dan senyuman tulus Bu Lily Kasoem — sosok luar biasa di balik berdirinya Titian Foundation.

Bangunan Titian Foundation berdiri dengan tenang: dua lantai dengan desain sederhana namun penuh pemikiran, memadukan sentuhan modern dengan nuansa tradisi Jawa — dibangun dengan kerendahan hati yang terasa indah.
Di dalamnya, puluhan anak SMA bergerak bebas: ada yang tenggelam dalam keasikan membaca buku, ada yang tertawa riang bermain bersama.
Satu hal yang pasti: ada kehidupan di sini. Ada energi yang terasa.

Saya bersemangat — dan tentu saja sedikit gugup juga — untuk pertama kalinya melangkah ke dunia ini.
Hari ini, saya bukan hanya sekadar berkunjung. Saya datang untuk berbagi sebuah kemungkinan: kesempatan untuk belajar di luar negeri dan merasakan kehidupan di China.
Untuk membantu mereka melihat dunia yang lebih luas — dan mudah-mudahan, menjadikannya nyata untuk diri mereka sendiri.


(Foto: Pemandangan sawah dari lantai 2 bangunan Titian Foundation)

Ruangan tempat acara bernuansa open space, membiarkan semilir angin dari sawah di samping gedung masuk dengan leluasa.
Tujuh puluh jiwa muda — para penerima beasiswa Titian — duduk di depan kami, sedikit malu-malu pada awalnya.
Namun tak butuh waktu lama.
Tiga puluh menit memasuki sesi diskusi, suasana berubah.
Pertanyaan mulai mengalir deras. Mata-mata mulai berbinar.
Waktu yang tadinya terasa panjang, tiba-tiba menjadi tidak cukup.

Saat saya berbicara tentang perkembangan teknologi, standar hidup di China, dan mimpi-mimpi di luar imajinasi yang menunggu mereka, saya melihat sesuatu mulai bergerak pelan di dalam diri mereka.
Beberapa sudah membawa api di mata mereka sejak awal; beberapa lainnya menyimpannya diam-diam, seperti bara yang menunggu hembusan angin yang tepat.

Saat datang ke Bayat, saya pikir tantangan terbesar mereka adalah masalah finansial.
Kisah klasik: keterbatasan dana, keterbatasan peluang.
Tapi saat berdiri di sana, saya menyadari bahwa pertempuran sebenarnya jauh lebih senyap — dan lebih berat:
Kumpulan tembok tak kasat mata yang dibangun oleh tradisi.
Bisikan-bisikan lama tentang: "Jangan bermimpi terlalu jauh."
"Tetap dekat saja."
"Main aman."
Terutama bagi para perempuan muda, tembok itu dibangun lebih awal — batu demi batu.


(Foto: Anak-anak Titian Foundation Bayat dan para aktivis)

Kemudian datanglah kisah Septian Hario Seto — membawa harapan yang lebih dalam.
Saat ini, Seto berperan penting dalam strategi ekonomi Indonesia sebagai anggota kunci Dewan Ekonomi Nasional (DEN), membentuk arah kebijakan ekonomi negara kita kedepannya.
Dan di tengah kesibukannya yang luar biasa — bekerja hingga larut malam, sering kali sampai tengah malam — beliau tetap memilih berangkat dari Jakarta pukul 1 dini hari demi bisa hadir bersama para siswa di Bayat keesokan paginya.
Bukan karena kewajiban.
Tapi karena beliau tahu, satu percakapan bisa mengubah banyak hal.

Dulu, Seto hanyalah seorang anak dari Ngawi, dibesarkan dengan pengorbanan tanpa batas dari seorang ibu.
Ia punya banyak alasan untuk percaya bahwa dunianya akan tetap kecil.
Namun ia memilih untuk percaya lebih besar.
Ia memilih untuk bermimpi lebih berani.
Hari ini, beliau adalah bukti hidup bahwa greatness isn’t reserved for those born into privilege — melainkan bagi mereka yang cukup berani untuk mengejarnya.

Jika kebesaran bisa tumbuh dari Ngawi, maka ia juga bisa tumbuh dari Bayat.
Ia bisa tumbuh dari mana saja.

Pesan Seto sederhana, tapi menghujam:
Have the confidence. Have the faith.


(Foto: Anak-anak Titian mencerna dalam-dalam kisah Septian Hario Seto)

Saya tahu apa yang beliau maksud.
Saya juga pernah diberi tahu untuk menjaga mimpi saya tetap kecil.
Saya dibesarkan di Bondowoso — sebuah tempat yang bahkan lebih terpencil dan lebih sepi daripada Bayat.
Saya masih ingat ladang-ladang hijau disana, siang yang berat dan lengang, serta ekspektasi hidup sederhana yang nyaris tak terbantahkan.
Namun satu langkah kecil yang berani — memilih untuk pergi, belajar di luar negeri, melihat dunia yang lebih luas — mengubah segalanya.

Mimpi tidak seharusnya tunduk pada batasan tempat lahir kita.
Dan masa depan tidak seharusnya dibatasi oleh ketakutan kita.

Masa depan adalah milik mereka yang berani.

Saat perjalanan pulang ke Yogyakarta, hamparan sawah bergulir di luar jendela — para petani beristirahat di saung kecil, bercanda dan menikmati camilan di bawah sinar matahari siang.
Dan saya berpikir tentang begitu banyak masa depan, begitu banyak mimpi yang belum terucap, yang masih diam-diam menunggu saatnya untuk bangkit.

Where you start is not where you must stay.
It never has been.

Written by Paulus Jimmy
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220