Zaman Covid meninggalkan ragam kisah yang
membekas. Walau sarat dengan kisah duka, ada beberapa hal dari zaman ajaib itu
yang sebenarnya diam-diam kita rindukan. Misalnya, kita tak perlu lagi membuat
janji ngopi yang tidak sungguh-sungguh akan diagendakan.
Mungkin benar jika dibilang bahwa hidup ini
adalah misteri yang tak henti-hentinya mengelak dari akal sehat.
Kisah zaman covid yang aku ingat kali ini
adalah tentang sebuah WA grup. Anggotanya adalah mantan kolega di salah satu
bank asing tempat bekerja dulu di kota kelahiranku, Surabaya. Banyak anggota WA
grup ini sudah mulai memasuki masa pensiun.
Kupikir, sudah sewajarnya di zaman Covid
mereka pun memiliki kerinduan yang sama denganku. Kerinduan bersosialisasi,
kerinduan untuk bercengkrama, kerinduan akan romantisme masa lalu mestinya
sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bergabung. Tanpa memperdulikan lagi
apa pangkatnya dahulu. Tanpa sisa-sisa ekspresi keangkuhan korporasi. Juga
tanpa batasan political correctness
berlebihan, harapku guyonan khas Jawa Timuran akan mengalir jadi pemecah
kebekuan dan obat rindu kami.
Undangan untuk bergabung dengan WA grup ini
begitu mempesona dan langsung kuiyakan tanpa pikir panjang.
Setelah menyapa para anggota WA grup itu, kami
pun sempat bertukar kisah hidup walau tidak meriah dan tidak sampai bikin lupa
waktu. Obrolan di grup WA didominasi beberapa anggota yang lebih extrovert. Wajar-wajar saja, di
mana-mana juga sama.
Tapi ada yang terasa janggal. Obrolan terasa
serius, dan isinya didominasi ucapan selamat ulang tahun, ucapan turut berduka
cita, dan perang stiker. Guyonan Jawa Timuran gagal hadir, terasa kering dan
jujur…nggak lucu. Rupanya masih kental sekali jiwa korporasinya, membelenggu
terasa tak lepas. Ada beberapa mantan bos masih menempatkan diri sebagai sang
kepala suku, sang alpha sejati yang
tak akan lekang dimakan zaman. Bertindak dan berbahasa persis sama waktu masih
menjadi bos di era 90-an. Tegur sana, tegur sini, sambil pamer prestasi
keluarga.
Tapi kan ini mantan kolega yang dulu berjuang
sama-sama. Tempat para sahabat bukan? Di grup ini, kupikir bisa jadi diri
sendiri. Tanpa perlu takut untuk terlihat bodoh. Di titik ini, aku justru
membuat sebuah kesalahan. Karena berpikir ini adalah lingkungan yang aman,
mulailah aku berbagi beberapa tulisan blogku, tanpa terlebih minta izin pada
tuan rumah.
Dasar pemikiran sederhana. Kalau sebuah
aktivitas dianggap layak buat dilakukan, tidak usah ragu untuk dibagikan ke
lingkungan sahabat. Jangan takut terlihat bodoh. If a job is worth doing, it is worth doing well but also worth doing it
badly. Masukan dan kritikan bisa digunakan untuk perenungan demi perbaikan
diri.
Hanya dalam hitungan menit, di luar dugaan,
seorang super alpha admin grup pun
berkomentar “Jangan coba-coba berjualan apapun di sini, jualan di tempat lain
saja.” Kurang lebih begitu. Postingan ini segera disambut tak kalah galak oleh
seorang mantan manajer yang lain, juga salah satu tuan rumah WA grup. Intinya
bilang kalau sampai semua orang diperbolehkan jualan di WA grup sakral ini,
nanti penuh WA grupnya. Mungkin juga khawatir tidak cukup lagi ruang untuk
perang stiker.
Dalam beberapa menit, mulai ada satu dua suara
yang mencoba membantu menjelaskan. Suara dari mereka yang bersedia membaca
terlebih dahulu apa yang aku coba tulis dan sampaikan. Mencoba menjelaskan
bahwa tulisanku ini tidak berjualan apapun. Sekadar berbagi. Dan membuat
pernyataan bahwa mereka sangat menikmati sepotong tulisan yang baru diposting
itu.
Sempat terbersit di pikiranku, palingan juga
sebentar lagi beberapa mantan manajer yang super galak tadi akan meralat
pernyataan dilarang berjualan. Setelah membaca tulisan yang jelas-jelas tidak
mencoba menjual apapun.
Ternyata ralat itu tidak pernah tiba, apalagi
maaf. Seolah ada hak membentak dan menegur anggota WA grup, seperti waktu masih
zaman menjabat dulu. Bahkan tanpa perlu membaca isi tulisan.
Tiba-tiba aku sadar bahwa aku terlalu berharap
pada kekosongan, dan sudah saatnya untuk mengakhiri reuni singkatku dengan
mantan kolega: exit group menjadi
pilihan.
Maksud tulisan ini bukan untuk curhat. Juga
bukan karena ada sisa amarah. Jujur aku pun tak merasa ragu untuk keluar dari
grup. Karena aku punya hak seutuhnya untuk memilih lingkunganku. Aku adalah
rata-rata dari lima orang di sekitarku. Nasib diserahkan pada kita untuk
memilih, dan caranya adalah dengan memilih lingkungan tersebut.
Maksud tulisan ini adalah menjadikan hal di
atas sebagai bahan perenungan dan pembelajaran. Ada beberapa hal soal amarah
dahsyat dua manajer tadi.
Pertama, di tahun 90-an di bank asing tadi,
aku adalah seorang tenaga penjual. Fast
forward ke zaman sekarang, apapun yang aku lakukan otomatis masih dianggap
sedang berjualan. Juga tenaga penjual di bank tadi sering dianggap warga negara
kelas dua atau bahkan tiga. Jadi memang sering dijadikan target pelampiasan
amarah para manajer yang sedang frustasi karena dilewatkan promosinya.
Kedua, aku merasa seperti sedang kembali
diingatkan bahwa hanya dengan melewati hal-hal yang sulit dalam hidup dengan
kesabaran, kemurahan hati, dan kerendahan hati, kita dimungkinkan untuk
bertumbuh dalam kebajikan dan kebijakan. Titel bergengsi di bank prestisius
bukan jaminan apapun untuk dapat bertumbuh.
Ketiga, mungkin mood kedua mantan manajer tadi sedang tidak baik. Aku merasa sedang
kembali diingatkan bahwa kita bukanlah perasaan dan mood kita. Perasaan tidak harus menjadi refleksi hidup kita. Mood jelek bukan alasan buat mencaci
sesama secara membabi buta.
Keempat, perilaku agresif dan keras dua mantan manajer tadi tentunya di luar kontrol aku. Tidak mungkin dapat aku cegah. Aku belajar bahwa yang dapat aku lakukan adalah tetap tenang dan secara sadar menolak untuk menerima perilaku agresif dan keras tadi. Juga menolak untuk ikut arus amarah, apalagi balik bersikap galak pada mereka. Hidup ini singkat. Tidak cukup waktu untuk marah-marah soal perkara remeh temeh yang nggak jelas.
Kelima, aku merasa sedang diingatkan untuk
terus berdisiplin membaca (dan menulis). Dua mantan manajer tadi sudah
meluapkan marah tanpa bersedia mengalokasikan sejenak waktu untuk membaca.
Mungkin beliau berdua sudah lama tidak tersentuh bahan bacaan yang terstruktur
dan kaya akan kata-kata. Akibatnya, beliau berdua mungkin mengalami kesulitan
untuk mengekspresikan pikiran. Ketidakmampuan ini akhirnya bermuara pada
kegelisahan dan tumbuhnya amarah.
Semakin banyak pilihan kata-kata, semakin
efektif dalam mendefinisikan apa yang kita rasakan dan pikirkan. Yang tidak
kalah penting, empati akan banyak terlatih ketika disiplin rajin membaca,
karena kita terlatih untuk “memasuki” jiwa orang lain melalui pemikiran mereka
yang tertulis dalam karya mereka. Buku adalah jendela ke jiwa, sekarang dan
masa lalu.
Masih soal kebiasaan membaca, Charlie Munger,
partner Warren Buffett, sering menekankan pentingnya kebiasaan ini dalam hidup.
“You’d be amazed at how much Warren reads
– at how much I read. My children laugh at me. They think I’m a book with a
couple of legs sticking out.”
Ingin rasanya iseng kirim tulisan pembelajaran
ini ke WA grup mantan kolega tadi. Buat bahan diskusi sambil guyon Jawa
Timuran. Moga-moga kali ini bisa lebih lucu. Tapi aku sudah terlanjur exit. Yo wes, buat bahan refleksi diri sendiri saja.
Written by Wuddy Warsono, CFA
sucor sekuritas
blog sucor sekuritas
blog sucor
sucor blog
blog wuddy
wuddy warsono
sekuritas terpercaya
sekuritas terbaik