Di awal Mei tahun ini, saya beruntung bisa
menghadiri Berkshire Hathaway 2019 Annual Meeting. Selain mendapatkan
kesempatan untuk mendengar langsung wisdom dari Warren Buffett, para
peserta juga memperoleh kesempatan untuk mendengar dari dan bertanya langsung
ke rekan Buffett, Charlie Munger.
Munger cenderung memberi jawaban pendek,
intelektual, dan penuh presisi. Sama seperti Buffett, jawaban Munger dipenuhi
humor cerdas. Munger pernah mengatakan bahwa resepnya untuk hidup panjang (usia
Munger saat ini 95 tahun) dan bahagia adalah “staying cheerful”. Hati
yang selalu gembira. Selama meeting yang seharian itu, Munger selalu
riang gembira dan tidak berhenti ngemil See’s Candies. Saya bela-belain baca
koran lokal untuk tahu apa sih cemilan yang dimakan Munger selama meeting
seharian.
Sikap Munger yang bersahabat ini memungkinkan
peserta untuk berani menanyakan hal-hal yang sensitif. Misalnya, pertanyaan
mengapa Buffett lebih kaya daripada Munger, padahal mereka adalah kongsi (salah
satu penjelasan adalah Munger telah memberikan harta untuk charity
selama masih hidup, sementara Buffett lebih memilih untuk memberikan di
belakang hari). Toh Munger tidak baper. Pertanyaan itu tidak bikin
pecah kongsi Buffett dan Munger.
Yang sangat luar biasa, ternyata selama 60 tahun
mereka saling kenal, Buffett dan Munger tidak pernah berantem. Walau tentunya
bukan berarti mereka selalu setuju akan segala hal.
Salah satu hal yang paling dikenang Buffett dan
Munger dari pertemuan awal mereka adalah bagaimana keduanya suka tertawa
terpingkal-pingkal setelah menceritakan joke-nya sendiri. Sebagai
orang yang mempunyai opini yang sangat kuat, Munger maupun Buffett mampu
membuat semua lebih ringan melalui humor.
Persamaan lainnya adalah keduanya sangat
menekankan pentingnya membaca dan terus bertumbuh. Munger pernah bilang “You’d
be amazed at how much Warren reads, and how much I read”.
Masih banyak lagi persamaan antara Buffett dan
Munger. Sampai-sampai Buffett bilang bahwa mereka ini seperti saudara kembar
Siam. Mungkin pertanyaan yang lebih menarik adalah apa PERBEDAAN di antara
kedua orang hebat ini?
Berbeda dengan Buffett yang super intens dan
seluruh hidupnya berpusat ke investasi dan buku-buku, Munger lebih memiliki
banyak minat. Juga, berbeda dengan Buffett yang membeli saham pertamanya di
usia 11 tahun dan seumur hidupnya berfokus ke saham, Munger juga mempunyai
ketertarikan dan pernah berpraktek di bidang hukum properti, arsitektur,
matematika, dan ilmu meteor. Bahkan, Munger pernah masuk ke militer Amerika
Serikat (sebagai...ehem...ahli meteor). Di sini ia menambah penghasilannya
dengan sering menang main poker.
Jasa Munger ke Buffett besar sekali. Karena buah
pemikiran seorang Munger lah, Berkshire sanggup bermetamorfosis dari pemburu
barang-barang super murah ala Ben Graham ke pemburu
perusahaan-perusahaan dengan harga yang reasonable namun mempunyai
potensi pertumbuhan yang luar biasa. Perusahaan cokelat See’s Candies adalah
awal dari perubahan ini, dan menjadi prototipe dari bisnis impian ala
Berkshire. Buffett sendiri pernah bilang bahwa tanpa See’s, tidak akan ada
kisah legendaris investasi Berkshire di Coca-Cola. Mungkin tidak akan ada
legenda Buffett dan Munger.
Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari cerita
Charlie Munger di atas?
Charlie Munger menunjukkan kepada kita semua,
tentang keuntungan untuk tidak berfokus terlalu obsesif pada satu bidang
tertentu terlalu pagi. Charlie Munger tidak sendirian dalam hal ini. Banyak
orang-orang hebat di dunia memulai karirnya sebagai generalis, sambil tetap mempertahankan
minat yang beragam di kemudian hari.
Baru-baru ini, saya membaca buku karya David
Epstein yang berjudul “Range: Why Generalists Triumph in a Specialized
World”. Buku ini luar biasa karena membuat kita berpikir ulang soal
pemikiran mainstream tentang perlunya sesegera mungkin orang muda
mencari spesialisasi.
Buku ini menceritakan tentang kontras perbedaan
antara Roger Federer dan Tiger Woods. Tiger Woods memulai spesialisasi golf di
usia 7 bulan (bulan bukan tahun, bukan typo di sini). Di usia 4 tahun,
Tiger Woods mampu mengalahkan pemain golf di klub lokal.
Cerita tentang Federer adalah kebalikan cerita
Woods. Walaupun sang ibu adalah pelatih tenis, ia tidak pernah melatih Federer.
Masa kecil Federer dihabiskan dengan bermain squash, ski, gulat, berenang, dan skateboarding.
Dia juga bermain basket, handball, pingpong, dan badminton. Yang menarik adalah
Federer memberi kredit ke variasi olahraga yang luas tadi dalam membantu
menaikkan level atletisnya dan koordinasi tangan dan mata.
Orang tua Federer pun santai. Tidak pernah ada
rencana A atau rencana B untuk karier olahraga Federer. Ayah Federer cuma punya
satu peraturan “jangan pernah curang”. Itu saja.
Federer tetap berjiwa kompetitif. Namun ketika
instruktur tenisnya memutuskan untuk memindahkan dia ke kelompok yang isinya
anak-anak yang lebih senior, Federer minta balik ke kelas junior supaya bisa
tetap bermain dengan teman-teman lamanya. Musik, sepak bola, dan nonton pro-wrestling
pun tetap jadi bagian hidupnya. Federer remaja hidup normal selayaknya anak
seusianya. Nggak buru-buru, nggak terlalu ambisius.
Di saat Federer memutuskan untuk fokus penuh ke
tenis, atlet sebayanya telah lama bekerja sama dengan pelatih khusus strength,
psikolog sport, dan ahli nutrisi. Toh, Federer bisa mengejar “ketertinggalannya”
dan menjadi salah satu atlet terhebat yang pernah ada.
Kalau Woods mempunyai cita-cita untuk memecahkan
rekor menang di golf majors, cita-cita Federer jauh lebih sederhana:
cuma ingin bertemu Boris Becker dan suatu hari bisa bermain tenis di Wimbledon.
Selain Munger dan Federer, sebenarnya banyak
kisah sukses lain dari minat yang lebih terdiversifikasi. Steve Jobs adalah
salah satu contohnya. Cerita mengenai bagaimana kelas kaligrafi di kampus
sangat membantu selera estetika Steve Jobs telah menjadi sumber inspirasi bagi
banyak orang. Serta bagaimana selera estetika ini diterjemahkan menjadi kisah
sukses Apple.
Di dunia ilmu pengetahuan pun ternyata banyak
contoh-contohnya. llmuwan dengan pencapaian yang tinggi ternyata jauh lebih
mungkin untuk juga tertarik ke area seperti musik, elektronik, melukis, membuat
patung, glassblowing, mekanis, penyair, penulis fiksi maupun non-fiksi. Dan
peraih hadiah Nobel lebih-lebih lagi, besar kemungkinannya untuk lebih tertarik
ke dunia yang lebih luas.
Kalau contoh di sekitar, seorang sahabat saya GO
adalah seorang investor dan developer properti yang sangat berhasil. Untuk
urusan PR dan media, dia sangat low profile, jadi saya beruntung bisa tahu
cerita hidupnya langsung dari dia.
Sebagai profesional, GO memiliki minat yang
sangat besar ke seni (fine art), sport, kolam koi dan landscaping.
Di kemudian hari, GO menuangkan semua minatnya untuk mengembangkan properti
yang sangat cantik dan istimewa di daerah Sunter, Jakarta Utara. Properti yang
dia bangun sangat berbeda karena menekankan ekosistem yang terawat sangat baik.
Ada pohon-pohon besar, ada capung dan katak yang menjadi pertanda ekosistem
yang terjaga. Bayangkan, ada capung di Sunter!
Pengetahuan soal desain kolam koi menjadi fondasi
pengembangan konsep zero run-off, di mana komplek properti mampu secara mandiri
menyerap air buangan tanpa mengalirkannya ke luar area.
Sementara itu, minat di fine art dan landscaping
menjadi fondasi pemilihan desain properti dan ekosistem. Hasilnya? Proyek
perkantoran, tapi terasa seperti resort. Baik siang maupun malam.
Minat di fine art dan lain-lain juga
memungkinkan GO untuk berjalan di koridor dunia investasi, tapi dalam beberapa
jalan tol sekaligus. Kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan dari satu bidang
dan menerapkannya di bidang lain adalah keuntungan besar. Apalagi dalam trading
saham, yang dilawan saat ini seringkali adalah komputer dan program. Kemampuan
menganalisa tren akan dikalahkan oleh komputer. Jadi perlu skill lain
untuk bisa survive.
Menurut GO, banyak hal yang terjadi di dunia
olahraga sangat mencerminkan kondisi dunia saat ini. Kisah Brawn GP di dunia F1
misalnya, menunjukkan cepatnya perubahan dunia. Juga bagaimana Mixed Martial
Arts (MMA) merubah dunia martial arts dalam semalam. Ataupun bagaimana
belajar endurance dari triathlon. Supaya kita bisa tetap prima, cerdas
berinvestasi sambil ngemil See’s Candies di usia 95 seperti Charlie Munger
nanti.
Era ini lebih membutuhkan “circuit breaker”,
yaitu mengambil pelajaran dan analogi dari bidang lain, dan mengaplikasikannya
ke bidang kerja utama kita. Sepertinya ini pilihan yang lebih masuk akal
daripada memaksakan solusi lama yang mungkin sudah tidak dapat lagi memecahkan
masalah, karena cepatnya perubahan.
Mungkin sudah waktunya saya cari lagi baju gi
Brazilian Jiujitsu dan pensil melukis yang entah saya taruh di mana.
Written by Wuddy Warsono, CFA