Salah satu bagian perjalanan karier saya adalah
periode satu dekade di sebuah perusahaan broker saham - investment
bank multinasional. Tentu banyak kisah tawa dan air mata selama perjalanan
karier tersebut.
Bagian yang paling membuat bahagia adalah ketika
ada anggota tim saya yang bisa membangun karier luar biasa, yang dibicarakan
dengan nada kagum di pasar saham. Lebih-lebih kalau yang latar belakang
pendidikannya dianggap “biasa-biasa saja”. Mungkin karena latar belakang
pendidikan saya juga sama biasanya.
Salah satunya adalah cerita mengenai Rina (nama
lain yang sebenarnya jarang dia pakai sehari-hari, tapi dia lebih memilih untuk
pakai Rina dalam tulisan ini). Pertemuan pertama saya dan Rina terjadi di
sebuah forum untuk jurnalis. Kebetulan ia duduk di sebelah saya. Kesan pertama.
orang ini kok agresif sekali. Persistensinya luar biasa. Pantang mundur. Fearless
khas jurnalis. Kita kemudian berkenalan (atau tepatnya ia yang agresif
memperkenalkan diri) dan singkat cerita, Rina akhirnya bergabung dengan
perusahaan broker saham kami.
Layaknya seorang jurnalis investigatif, Rina akan
menggali secara dalam mengenai suatu topik. Karena di dunia pasar saham, tentu
fokusnya adalah hal-hal yang mempunyai potensi besar untuk memengaruhi harga
saham namun belum diapresiasi oleh pasar. Istilah teknisnya on-the-ground-stock-research.
Tentu latar belakang Rina yang nggak mainstream,
bukan CFA (Chartered Financial Analyst) dan bukan pula sekolah bisnis, sering
dipertanyakan oleh kolega maupun klien. Bahkan Rina sendiri sempat minta untuk
mencoba belajar CFA. Saya persilakan mencoba. Ternyata hanya dengan mengikuti
satu kelas saja Rina tahu bahwa CFA bukan untuknya. CFA jelas bukan untuk semua
orang dan manfaatnya berbeda-beda untuk tiap individu.
Dengan segala “keterbatasan” yang ada, ternyata
produk Rina menjadi salah satu produk yang paling populer di pasar. Semua
membicarakannya. Sudut pandangnya sangat unik. Remarkable, sapi ungu, viral.
Konsekuensinya, klien bersedia bayar untuk produk ini.
Tanpa pendidikan formal sebagai bekal seorang
analis saham, Rina sukses berat di dunia riset saham. Apa yang terjadi?
Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, saya coba
untuk menggali kisah-kisah serupa, tapi di bidang yang lain. Orang-orang yang
tanpa bekal pendidikan formal di bidangnya, namun bisa sukses luar biasa.
Arsitek superstar Tadao Ando dari Jepang adalah
seorang pemenang hadiah bergengsi di dunia arsitektur yaitu Pritzker
Architecture Prize. Hadiah ini sering dibilang Nobel Prize-nya dunia
arsitektur. Yang lebih luar biasa adalah Ando memulai kariernya sebagai seorang
….. petinju profesional.
Walaupun telah menghasilkan desain
bangunan-bangunan yang menjadi ikon dunia, Ando sebenarnya tidak pernah belajar
prinsip dasar arsitektur. Memang arsitektur bukanlah kumpulan prosedur textbook
dan standar operasi, namun tetap saja sekolah arsitektur mengajarkan banyak hal
dasar yang penting. Misalnya, bagaimana memulai konstruksi sebuah bangunan dan
cara matematis untuk merencanakan sebuah desain.
Memulai karier tanpa kaitan dengan arsitektur dan
desain, bagaimana cara Ando mengubah total fungsi kerja tangannya dari tinju ke
arsitektur?
Bukankah tinju sama sekali tidak berkaitan dengan
desain dan arsitektur? Atau mungkin kaitan itu sebenarnya ada? Mungkin tinju
telah mengajarkan Ando untuk menjadi seorang yang tangguh, baik fisik maupun
mental. Setelah memutuskan untuk menggapai mimpinya di arsitektur, Ando
mendorong diri sedemikian keras untuk memperoleh kesempatan yang berharga untuk
menggantikan pendidikan formal arsitektur yang tidak pernah dia peroleh.
Dalam proses transisinya, Ando rajin mendatangi
bangunan-bangunan tua di kotanya Osaka, dan dia pelajari dengan tekun. Ando
juga habis-habisan belajar arsitektur, datang ke kelas malam, dan membaca
buku-buku arsitektur. Sebagai atlet, Ando memperoleh kesempatan untuk bepergian
ke berbagai penjuru dunia. Sebenarnya untuk bertanding tinju, tapi Ando juga
memanfaatkan waktunya untuk mendapatkan exposure ke berbagai macam budaya
arsitektur dunia.
Ando ternyata tidak sendirian. Arsitek legendaris
Frank Lloyd Wright juga tidak mempunyai training formal yang cukup untuk
menjadi arsitek. Toh hari ini tidak ada arsitek di dunia yang tidak mengenal
namanya.
Baik Ando maupun Wright memang tidak pernah
mendapatkan akses ke training formal arsitek. Bukannya marah-marah atas situasi
yang tidak menguntungkan ini, mereka justru sanggup merubah situasi ini menjadi
keuntungan mereka, bahkan menjadi hal terbaik di hidup mereka.
Kalau saja Ando and Wright penah ke sekolah
arsitek mainstream, mungkin dosen mereka akan memberitahu hal-hal apa yang aman
untuk dilakukan dan apa yang tidak aman. Buat Ando dan Wright, batasan
aman-tidak aman ini tidak pernah ada. Dan ini adalah keuntungan luar biasa bagi
mereka karena mereka tidak pernah didoktrin bahwa tidak akan pernah ada klien
yang akan menerima gagasan desain mereka yang terlalu “liar”. Hasilnya adalah
ide-ide yang begitu baru dan orisinal. Dan ide-ide ini menarik banyak penggemar
dan pengkritik sekaligus. Heboh.
Kalau Ando dan Wright telah memperlihatkan ke
kita bahwa kreativitas arsitek tidak selalu lahir dari kumpulan catatan kuliah,
bagaimana dengan bidang kreatif lain?
Dalam buku “Range: Why Generalists Triumph in
a Specialized World”, penulis David Eipstein berbagi cerita mengenai Jack
Cecchini.
Cecchini sangat langka dan unik karena dia adalah
musisi kelas dunia untuk Jazz dan Klasik sekaligus. Yang juga sangat unik
adalah Cecchini tidak mempunyai latar belakang pendidikan musik formal. Di masa
mudanya, Cecchini yang sangat tertarik pada gitar harus memutar terlebih dahulu
untuk belajar klarinet. Mengapa? Karena dia mempunyai kesempatan untuk belajar
klarinet secara gratis. Baru dari sana, apa yang dia pelajari di klarinet
ditransfer ke gitar!
Toh Cecchini bisa tur bareng Frank Sinatra,
Miriam Makeba, dan Harry Belafonte. Cecchini juga dikenal sebagai salah satu
guru gitar Jazz dan Klasik yang paling banyak dicari. Dan satu-satunya
pendidikan formal musiknya adalah kelas gratis klarinet. Cecchini pernah bilang
bahwa 98% skill dan pengetahuan dia adalah hasil dari belajar sendiri
(independent learning).
Soal musisi kelas dunia yang tidak punya latar
belakang training formal, Cecchini tidak sendirian. Ada beberapa contoh yang
lain. Jagoan improvisasi Django Reinhardt, yang lahir di sebuah karavan kaum
gipsi di Belgia di tahun 1910, bahkan buta membaca musik. Django belajar musik
secara call-and-response style, di mana satu frase musik sebagai “call”
akan dijawab dengan frase musik yag berbeda sebagai jawabannya. Alat musik
favorit Django adalah campuran banjo dan gitar. Tanpa latar belakang sekolah
musik, Django di usia lima belasan tahun sudah membuat heboh musisi senior
Paris dengan improvisasinya.
Django juga tahan banting. Di usia 18 tahun,
bencana api membakar setengah tubuhnya. Django harus istirahat selama 18 bulan
dan dipaksa untuk bisa bermain musik hanya dengan jempol dan dua jarinya.
Bukannya menyerah, Django malah muncul kembali di dunia musik dengan cara baru
memegang alat musiknya. Kreativitasnya pun makin dahsyat.
Jauh hari sebelum Jimi Hendrix berimprovisasi
dengan “The Star-Spangled Banner”, Django melakukan hal serupa dengan
lagu kebangsaan Prancis “La Marseillaise”. Django juga seorang
komposer simfoni, walaupun tidak bisa membaca musik. Di pop culture
pun, karya Django masih banyak dipakai, misalnya di film The Matrix dan The
Aviator.
Pakar improvisasi, seperti cerita-cerita di atas,
belajar seperti bayi. Nyemplung dulu, meniru dan improvisasi dulu. Baru belajar
aturan formal belakangan. Cecchini pernah bilang, seperti halnya kita belajar
mambaca buku, pada awalnya kita belajar bagaimana bunyinya dulu baru
grammar-nya belakangan. Cecchini juga bilang banyak murid dia datang dari
sekolah musik Jazz, dan mereka semua terdengar sama persis. Tidak kreatif.
Tidak mempunyai voice-nya sendiri.
Joke-nya di antara musisi Jazz “Kamu
bisa membaca musik?” Jawabannya “Tidak sampai membuat permainan saya rusak”.
Mungkin joke ini ada benarnya. Kurangnya training formal memaksa
orang-orang di atas tadi untuk belajar sendiri (independent learning)
dan mengaplikasikan pengetahuannya ke situasi yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Bukankah ini adalah esensi dari kreativitas?
Thought leader Adam Grant, penulis buku
Originals, pernah menunjukkan bahwa di rumah tangga dengan anak-anak super
kreatif, aturan dalam rumah itu jauh lebih sedikit. Hanya satu aturan dibanding
rata-rata enam aturan untuk anak-anak pada umumnya. Orang tua dari anak-anak
kreatif memberitahu opini mereka setelah anak-anak berbuat sesuatu yang tidak
mereka sukai. Bukannya bikin banyak larangan dan aturan.
Dengan nabrak-nabrak kesana kemari dan independent
learning, baik dalam dunia riset saham, arsitektur, musik, dan saya yakin
banyak bidang yang lain, kita akan belajar untuk mencari voice, musik,
desain, dan tulisan kita di tempat-tempat yang berbeda. Dan dalam prosesnya,
kita akan belajar untuk memecahkan masalah. Memang akan lebih menyakitkan dan
lebih lambat untuk belajar dengan cara ini. Tapi seperti contoh-contoh di atas,
hasilnya bisa luar biasa. Langka dan berharga.
Jadi bagi kita yang tidak pernah memperoleh
kesempatan mendapatkan edukasi formal untuk bidang yang kita ingin tekuni,
tidak perlu berkecil hati. Kita bisa mengubahnya menjadi keuntungan dan
kreativitas luar biasa, seperti yang telah ditunjukkan oleh Rina, Ando, Wright,
Cecchini, dan Reinhardt.
Selama kita mencurahkan seluruh hati, mimpi dan
semangat kita, semua hal itu... possible!