

Jadi, kalau kamu termasuk salah satu penggemar tembakau, perokok aktif atau hanya menggemari emiten rokok, OTG kami kali ini wajib dibaca. Pasti akan memberikan insight yang menarik mengenai industri ini.
Nah, kembali ke industri rokok di Indonesia. Di akhir tahun 2019, Pemerintah secara resmi menaikkan cukai rokok sebesar 23%, efektif per 1 Januari 2020 yang berimbas pada kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Tidak lama berselang, Maret 2020, covid-19 dikonfirmasi di Indonesia yang berdampak besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ditambah lagi diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menggerus daya beli masyarakat akibat menurunnya aktivitas perekonomian.

Kami ingin melihat secara langsung bagaimana para pelaku usaha di industri rokok menghadapi situasi ini. Untuk itu, kami berkunjung ke sejumlah warung dan minimarket di berbagai wilayah untuk mencari tahu bagaimana kinerja penjualan rokok beberapa bulan terakhir dan seberapa besar kenaikan harga rokok di tingkat pedagang sejak awal tahun. Tidak hanya itu, kami juga melakukan survei ke ratusan perokok di seluruh Indonesia untuk mengetahui bagaimana perilaku konsumsi mereka.
Toleransi kenaikan harga konsumen rokok adalah Rp 5.000
Mayoritas responden dalam survei ini berusia 17-35 tahun dengan penghasilan per bulan di bawah Rp 10 juta. Sekitar 46% dari responden mengkonsumsi rokok putih dengan tiga merek paling diminati yaitu: Sampoerna, Gudang Garam dan Marlboro. Pengeluaran responden untuk rokok setiap bulannya berkisar Rp 140.625 sampai Rp 562.500.
Dari survei ini kita juga menemukan bahwa tingkat toleransi perokok terhadap kenaikan harga rokok cukup rendah, dimana 69% responden mengaku hanya akan mempertahankan tingkat konsumsi mereka dengan kenaikan harga hingga Rp 5.000 per bungkus. Sehingga apabila harga rokok naik melebihi batas toleransi tersebut, maka mereka akan cenderung mencari rokok lain yang lebih murah dari merek yang sama atau beralih ke rokok merek lain.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh seorang distributor rokok yang kami temui di wilayah Jawa Barat. Belakangan ia mengamati adanya tren kenaikan permintaan untuk rokok-rokok tier-2. Tentu hal ini berdampak besar bagi pengusaha-pengusaha rokok besar.

Dari hasil observasi kami, penjualan rokok mengalami penurunan yang lebih dalam di wilayah rural dibandingkan dengan di wilayah urban khususnya selama masa PSBB. Seorang pemilik warung di Bogor, Jawa Barat mengatakan bahwa penjualan rokoknya turun hingga 50-60% selama masa PSBB dan mulai naik sejak Juni. Hal yang sama juga dialami oleh Bu Atik, pemilik warung di Depok, Jawa Barat. Penjualan rokok di warung Bu Atik yang kebetulan berdekatan dengan stasiun Commuter Line dan juga kampus, mengalami penurunan signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya aktivitas di sekitar warung karena tutupnya kampus sejak beberapa bulan terakhir.
Akan tetapi di sisi lain, dalam kunjungan kami ke beberapa warung dan minimarket di Tangerang Selatan dan Jakarta, kami menemukan bahwa sebagian besar masih mencatatkan penjualan yang relatif stabil, meskipun harga-harga rokok sudah naik sejak awal tahun. Bahkan seorang manajer minimarket yang berlokasi di dalam apartemen yang kami temui mengaku bahwa penjualan rokok mereka justru mengalami kenaikan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kebijakan PSBB yang membuat penghuni menghabiskan waktu lebih banyak di dalam apartemen dibandingkan dengan sebelumnya.


Karena menurunnya daya beli masyarakat di tengah pandemi ini, seorang marketing perusahaan rokok yang kami temui menjelaskan bahwa daya tarik Sigaret Kretek Tangan (SKT) menunjukkan peningkatan belakangan ini. Selain karena memang harganya yang lebih murah, tingkat kepadatan tembakau di rokok SKT ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM) sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sebatang rokok SKM juga lebih lama.
Sampoerna Marun, atau dikenal juga dengan Sampoerna 234, yang baru diluncurkan oleh HM Sampoerna berhasil mencuri perhatian para penikmat rokok. Selain karena harganya yang murah, hanya sebesar Rp 12.000 per bungkus, dari penuturan orang-orang yang sudah mengkonsumsi rokok tersebut mengatakan bahwa kualitas dari Sampoerna Marun di atas rokok-rokok sejenis lainnya. Sampai-sampai rokok ini sempat mengalami kelangkaan karena kehabisan stok di pasaran.

Hal menarik apalagi kira-kira yang bisa dipelajari dari industri rokok? Simak laporan selengkapnya di sini.