

Untuk pertama kalinya sejak era pandemi, saya melakukan perjalanan jarak jauh dengan pesawat terbang.
Biasanya penerbangan jarak jauh ini menjadi kesempatan emas (atau mungkin di era ini lebih tepat dibilang kesempatan Bitcoin?) untuk menyepi, berkontemplasi, dan berpikir. Paling tidak, kesempatan Bitcoin buat slowdown sejenak.
Semua ini dimungkinkan karena tidak adanya akses ke internet. Memang ada inflight entertainment di penerbangan, tapi kita tahu distraction model ini bukan tandingan arus godaan dari smartphone.
Pada waktu proses check-in pesawat, ketika sedang membayangkan aktivitas produktif dan restoratif nantinya selama penerbangan, tiba-tiba ada kabar bahwa WiFi sudah tersedia di pesawat. “Kabar gembira” ini disampaikan oleh petugas check-in dengan bangga dan bahagia.
Saya coba bertanya, apakah akses ke WiFi ini berbayar. Anehnya saya setengah berharap ini layanan berbayar dan harganya mahal. Jadi ada alasan solid untuk tidak menggunakan fasilitas WiFi selama penerbangan.
Jawaban atas pertanyaan tadi ternyata cukup “mengecewakan”. Layanan WiFi ini ternyata tidak berbayar. Gratis.
Ok, saya tidak mau terdengar seperti seorang a**hole yang gagal mensyukuri kemajuan teknologi. Saya hanya merasa kehilangan kesempatan buat slowdown sejenak, di zaman yang serba cepat dan menuntut kita untuk selalu connected ini. Tapi ya sudahlah, mungkin tidak perlu overthinking dan nikmati saja layanan baru ini.
Akhirnya saat itu pun tiba. Benar saja, willpower saya belum bisa menjadi tandingan akses WiFi selama penerbangan.
Dimulai dari rasa ingin tahu ada apa dengan market. Dilanjutkan dengan bertukar pikiran dengan beberapa rekan seperjuangan di market. Karena sudah larut malam waktu Indonesia, jadi aktivitas ini saya lakukan dengan teman-teman dari belahan dunia yang lain.
Seakan market perlu kehadiran saya untuk fully functioning dan proses price discovery-nya. Seakan saya itu begitu pentingnya.
Baru satu jam surfing market, tiba-tiba akses WiFi menghilang. Tiffany, stewardess super ramah asal Malaysia, berteori bahwa mungkin kami sedang terbang di atas wilayah steril. Mungkin dia baru nonton The X-Files. Tapi biasanya nanti akan balik sendiri akses WiFi-nya, katanya.
Ternyata akses WiFi ini tidak pernah balik. Masih ada layanan dua jam. Yang saya pakai sebentar untuk lagi-lagi berpura-pura bahwa kehadiran saya di market begitu penting. Lantas saya tidur. Dua jam akses WiFi yang tidak terpakai penuh.
Setelah bangun tidur, saya coba re-connect ke layanan WiFi yang tadi terputus. Ternyata tidak bisa. Ada dua alternatif. Pertama, saya mengajukan complain. Kedua, saya beli saja kuota WiFi, karena yang gratis sudah tidak ada. Saya putuskan untuk beli. Malas ribut.
Di saat saya sedang melakukan proses pembelian, saya berpikir, “What am I doing?”
Mengapa tidak lupakan saja WiFi dan kembali ke rencana awal. Slowdown. Tidur lagi. Berpikir. Membaca. Menulis.
Saya lakukan semua itu. Dan jadilah tulisan ini.
Kadang di market di era demokratisasi informasi ini, begitu banyak akses “gratis” ke informasi pasar. Yang tadinya hanya tersedia untuk investor institusional seperti fund manager, sekarang tersedia gratis dan melimpah buat kita semua.
Tentu ini anugerah yang harus disyukuri. Seperti akses WiFi gratis di penerbangan.
Namun juga seperti akses WiFi gratis, bombardir arus informasi pasar modal ini suka merenggut waktu yang tadinya bisa kita alokasikan buat berpikir secara independen dan melakukan analisa yang dalam, yang tadinya kita bisa dapatkan dengan membaca data.
Aktivitas ini seolah bisa kita outsource-kan ke “orang-orang sakti” di medsos. Siang malam, kita hooked ke medsos untuk informasi “terkini dan terbenar” seputar pasar saham. Sampai suka lupa untuk slowdown dan mengalokasikan waktu dan perhatian untuk orang yang kita cintai.
Padahal hanya dengan slowdown dan istirahat yang cukup, dan juga dengan pemikiran independen dan analisa mandiri, kita bisa mendapatkan conviction atas investasi kita. Untuk mampu bertahan di masa sulit, maupun untuk tidak ikut tergerus arus FOMO. Dalam konteks ini, bagi saya FOMO is a scary state of mind. Slowdown dan cukup istirahat memungkinkan kita untuk bisa berpikir jernih.
Tentu arus informasi pasar ini bisa banyak memberi manfaat. Hanya saja kita perlu selektif memilih supaya tidak overdosis.
Seperti akses di WiFi di penerbangan jarak jauh. Saya sedang mengingatkan diri sendiri, jangan sampai berlebihan. Jangan sampai mengambil alih kesempatan untuk berpikir independen dan menikmati slowdown sejenak. Juga jangan sampai information overload menjadi substitusi untuk menikmati kesendirian.
Akhirnya saya bilang ke Tiffany, tidak jadi beli kuota WiFi tambahan. Market dan organisasi tempat saya berkarya bisa berfungsi tanpa kehadiran saya. I am not that important. Not even close. Jadi saya bisa tidur dengan tenang di pesawat.