Dua hari setelah nonton konser The Rolling Stones, saya sempatkan untuk menikmati konser yang lain. Selain sedang norak-noraknya dalam rangka menikmati kebebasan post-Covid ala Amerika, artis yang satu ini memang sulit sekali untuk dilewatkan begitu saja.
Artis ini pernah memenangkan Academy Awards dan Golden Globe, selain 12 Grammys yang sudah dikantonginya. Ada juga begitu banyak penghargaan bergengsi lainnya. Jumlah album yang sudah terjual tidak kurang dari 35 juta, plus 42 miliar
streams. Artinya, ia adalah artis yang mencetak jumlah penjualan musik terbanyak di dunia.
Siapa lagi yang punya prestasi seperti ini kalau bukan Lady Gaga.
Konsernya diadakan di Park MGM, di Las Vegas, kota yang menurut Lady Gaga adalah Disneyland-nya orang dewasa (
no comment).
Seperti halnya konser The Rolling Stones dua hari sebelumnya, prosedur Covid juga dilakukan. Bukti vaksinasi harus ditunjukkan. Anehnya, bukti kartu vaksin saya dalam bahasa Indonesia bisa mereka terima begitu saja.
Check the box, done, antrian masih panjang, silakan masuk.
Ini adalah konser kedua Lady Gaga saya. Yang pertama beberapa tahun yang lalu di Asia. Rasanya seperti menonton artis yang berbeda. Gaga memang jagoan sekali kalau urusan
image reinvention.
Album terbarunya, misalnya,
Love for Sale adalah bentuk kolaborasi kedua dengan legenda
Jazz dan
big band Tony Bennett. Judul
show Lady Gaga “Jazz and Piano” tentu sangat memancing rasa ingin tahu. Dari
Rock ke
Jazz dan big band.
Padahal
Jazz ini genre musik yang sering dianggap jadul. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
Jazz sedang dalam proses untuk menjadi punah. Hal ini misalnya digambarkan di film La La Land. Lady Gaga adalah anti-mainstream dalam arti seutuhnya.
Menjadi anti-mainstream tidak selalu mudah. Lady Gaga sering diejek selama masa sekolah. Dianggap terlalu eksentrik atau provokatif.
Tapi malam itu, keeksentrikan seorang Lady Gaga membuat penampilannya terasa begitu original. Ia tidak takut menjadi dirinya sendiri. Rasa percaya diri yang amat besar, tanpa menuntut kesempurnaan. Seolah mau bilang “ini gue,
so what?”
Juga tidak takut untuk tetap provokatif. Di konser Vegas, kota yang identik dengan judi dan prostitusi, Lady Gaga bilang bahwa secara esensi, ia adalah “
a highly paid prostitute”. Tidak ada kemunafikan malam itu.
Glamor tapi tidak ada kepalsuan. Dan banyak lelucon segar selama konser. Yang kebanyakan menertawakan dirinya sendiri.
Misalnya cerita soal komentar dari ayahnya bahwa Lady Gaga itu sangat tidak tidak bisa diberi kepercayaan dan tidak ada rasa tanggung jawab.
Unreliable dan
Irresponsible.
Tapi bukannya marah plus kecewa, Lady Gaga mengubah sudut pandang
unreliable,
undependable,
unpredictable, dan
irresponsible dari kelemahan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Kekuatan cinta yang bisa tergambarkan dari interpretasi Lady Gaga atas lagu legendaris Frank Sinatra,
Call Me Irresponsible.
Lagu
Call Me Irresponsible ini dinyanyikan dengan memakai kostum (yang terus berganti, perhatian yang luar biasa pada detail) yang didesain oleh saudarinya, Natali Germanotta, dengan
style anggun era
Roaring Twenties. Call Me IrresponsibleCall me irresponsible, call me unreliableThrow in undependable tooDo my foolish alibis bore you?Well, I'm not too clever, I just adore youCall me unpredictable, tell me I'm impracticalRainbows, I'm inclined to pursueCall me irresponsible, yes, I'm unreliableBut it's undeniably trueI'm irresponsibly mad for youCall me irresponsible, yes, I'm unreliableBut it's undeniably trueI'm irresponsibly mad for you..Call Me Irresponsible, Lady Gaga
covers Frank Sinatra
Dalam konsernya, Lady Gaga juga mampu secara indah melakukan interpretasi
Jazz atas lagu-lagunya sendiri, misalnya
Bad Romance dan
Poker Face. Seolah-olah ia adalah musisi
Jazz sejati. Baik menyanyi
Jazz maupun bermain piano dilakukan secara begitu intens dan indah.
Gaga banyak bercerita soal
passion-nya pada
Jazz. Sama sekali tidak peduli bahwa
Jazz dianggap ketinggalan jaman.
Berbicara soal kisah, banyak kisah menyentuh sepanjang konser. Antara lain melalui komunikasi yang terjalin apik dengan fans.
Juga kisah tentang Tony Bennett yang sudah berusia 95 tahun dan berjuang mengatasi Alzheimer. Semangat hidup Tony kembali bangkit berkat kolaborasi dengan Lady Gaga. Tiba-tiba Tony Bennett mampu mengingat kembali lagi-lagunya.
Di panggung, Lady Gaga bercerita, saat ditanya bagaimana rasanya bernyanyi dengan seseorang yang menderita Alzheimer. Jawaban Lady Gaga “Yang berubah adalah natur dari Tony. Sementara Tony sendiri tidak berubah”.
Jawaban yang indah. Yang datang dari sudut pandang yang indah. Yang mungkin suka dianggap eksentrik, bahkan provokatif.
Dengan merubah
story dan narasi, kita bisa merubah hidup kita. Dalam dunia psikologi, hal ini disebut sebagai skema.
Skema ini adalah bagian dari proses berpikir, yang sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk meraba realitas dan akhirnya menciptakan realitas itu sendiri.
Skema itu dapat berbentuk positif dan negatif. Dan Lady Gaga memilih untuk berfokus pada
great abundance di saat yang lain mungkin memilih untuk berfokus pada
scarcity.
Perbedaan ada pada cara kita merasakan situasi dan kaca lensa yang akan kita pakai dalam hidup.
Bagi Lady Gaga, skemanya selalu
abundance. Saat dianggap eksektrik oleh teman-teman sekolah. Saat dianggap
unreliable dan
irresponsible oleh ayah tercintanya. Saat dibilang bahwa
Jazz adalah jadul. Dan saat Tony Bennett dianggap sebagai
liability dalam duet indah mereka.
Malam itu, saya seolah diingatkan bahwa skema positif dan
abundance ini juga sangat membantu dalam dunia investasi.
Kalau sedang rugi misalnya. Kita bisa mengadopsi skema sedang belajar.
Either we win or we learn. Bahkan sedang menang pun kita bisa anggap juga sedang belajar.
Double gain.Hal lain misalnya soal
margin of safety. Kita sering suka FOMO kalau ada “teman” di medsos sedang pamer profit tradingan. Skema FOMO bisa diganti dengan skema
margin of safety. Proteksi terhadap
downside risk. Karena FOMO sesungguhnya adalah
scary state of mind.Sebaliknya, begitu kita mengadopsi skema
abundance, hidup kita akan dihadiahi dengan bahkan lebih banyak
abundance. Tidak perlu FOMO lagi.
Malam itu adalah malam yang indah. Ditutup dengan dua lagu favorit saya pula,
Fly Me To The Moon dan
New York New York. Balik ke kamar hotel, saya putar kencang-kencang lagu
Bad Romance. Mungkin dengan skema positif dan
abundance, lagu ini terdengar seperti
Good Romance. Eh engga sih…bukan
Good Romance, melainkan
Great Romance. “
Don't try to be famous to be loved but be famous to make an impact, otherwise it is not worth the trade”Lady Gaga, Oktober 2021, Las Vegas